Gandrung Sewu 2019 – Panji Sunangkoro
Elvin Hendratha (dipublikasikan pada Minggu, 20 Oktober 2019 05:56 WIB)
- Opini
Perhelatan festival Gandrung Sewu (GS) tahun 2019 di Pantai Marina Boom Banyuwangi telah dilaksanakan tanggal 12 Oktober 2019. Sejak tahun 2012 agenda tahunan Gandrung Sewu telah menujukkan eksistensinya, memberikan warna tersendiri bagi dunia berkesenian di Banyuwangi. Sewindu GS telah menyuguhkan ragam tema penampilannya, mulai dari “Jejer Gandrung” (2012) sampai “Panji Sunangkoro” (2019).
|
No. |
Tanggal |
Thema |
Peserta |
|
1 |
17 November 2012 |
Jejer Gandrung |
1.044 |
|
2 |
23 November 2013 |
Paju Gandrung Sewu |
2.106 |
|
3 |
29 November 2014 |
Seblang Subuh |
1.258 |
|
4 |
26 November 2015 |
Podho Nonton |
1.208 |
|
5 |
17 September 2016 |
Seblang Lokinto |
1.314 |
|
6 |
08 Oktober 2017 |
Kembang Pepe |
1.286 |
|
7 |
20 Oktober 2018 |
Layar Kumendung |
1.173 |
|
8 |
12 Oktober 2019 |
Panji Sunangkoro |
1.330 |
Panji Sunangkoro ditetapkan menjadi tema tahun 2019. Pada proses pemilihan tema -khabarnya- sebelumnya sudah 3 (tiga) naskah terpaksa harus dianulir. Bila kita perhatikan daftar diatas, maka diluar “Panji Sunangkoro” semua tema menunjukkan korelasi dengan kesenian Gandrung. Ketujuh tema menunjukkan hubungan dengan Struktur Penyajian dan judul Gendhing Gandrung. Lalu mengapakah pilihan jatuh kepada Panji Sunangkoro, bukankah Tema tentang Gandrung masih relative banyak? Tentu saja proses brainstorming serta pemilihannya, telah dilakukan pihak terkait dengan pertimbangan berdasarkan alasan kuat. Pertimbangan yang tentu saja bukan didasarkan kejenuhan bercerita fragmen Gandrung semata, sehingga perlu harus disodorkankan alternatif tema fragmen lainnya.
Jika Struktur Penyajian telah habis disajikan, maka pilihan berlanjut meneruskan Gendhing Gandrung. Dalam catatan T.Ottolander dalam Gandroeng Banjoewangi, saat congres Java Instituut di Bandung pada tanggal 17 sd 19 Juni 1921 ada 13 (tigabelas) gending Gandrung Klasik Banyuwangi, antara lain : Tjengkir Gading, Oekir Kawin, Salatun, Giro Bali, Goenoeng Sari, Angleng, Lebak-lebak, Rembe, Dril, Tetel, Oega Oega, Tjapgomeh dan Lia Lioe. Padahal semuanya bisa dijadikan bahan bakar pilhan tema penyajian serta penggalian napak tilasnya. Belum lagi catatan Joh Scholte pada Gandroeng Van Banjoewangi, saat congres Java Instituut di Soerabaja pada tanggal 23 sd 27 September 1926, yang mencatat masih terdapat 80 (delapan puluh) nama gending klasik yang berlainan dan lebih dari 100 (seratus) wangsalan/basanannya.
Gandrung Sewu yang telah menjadi “10 Best Calendar of Event Pariwisata Indonesia”, memiliki konsekwensi pertunjukkannya harus terus tersaji secara periodik. Pertunjukkan harus tetap eksis adaptif, mengikuti tuntutan “sikon”, “jaman” dan “Stakeholder”. Harus terus berproduksi sesuai target waktunya, yang akhirnya mendesak seniman terus ber-"kreasi”.
Pergerakan pilihan dalam penyajian tak terhindarkan. Perubahan seperti penari berkostum kaos coklat lengan panjang, dianggap lebih “agamis” serta “sopan”. Atau perubahan mode penari gandrung mengenakan “Rok Batik”, dimaksudkan agar lebih leluasa berlarian diatas pasir. Tentu saja hal-hal tersebut menjadi pilihan menarik “Gandrung Milenial” untuk belajar menari secara instan. Tidak diperlukan ketrampilan khusus untuk menarinya, berbeda dengan kandungan makna filosofi menggunakan Sewek seperti Gandrung Terob yang implementasinya dianggap tidak praktis. Juga pada adegan chapter anak-anak yang bersuka cita menyambut orang tuanya berjuang, anak-anak dikenakan kostum baju kebaya hitam mengenakan omprog. Gambaran citraan mata untuk membedakannya dengan “Gandrung” yang sesungguhnya, bahwa anak-anak tengah giat berlatih menari dan menyanyi. Kesenian terus bergerak cepat tak terbantahkan, bergerak agresif dinamis di bumi Blambangan. Semuanya untuk menjawab tuntutan penyajian “profun” secara periodik kepada “masyarakat luar Banyuwangi” dalam kemasan kolosal.
Padahal terkait teori adaptif tersebut seharusnya lebih mengarah ke "cultural contact/encountering", perjumpaan budaya, yang memungkinkan para pelaku menyerap dan mentransformasi ragam budaya luar dan men-dialog-kannya dengan budaya lokal. Tujuannya, agar para pelaku budaya bersifat terbuka dan lentur dalam mengadaptasi pengaruh luar, tanpa harus melupakan yang tradisi. Semoga sudah dilakukkan pada event yang melibatkan ribuan penari ini.
Menelisik Musik Gandrung Sewu 2019
Sebelum kita mencoba menelisik perubahan yang terjadi pada musik Gandrung Sewu 2019, ada baiknya kita mengetahui siapa saja yang terlibat didalam event kolosal tahunan tersebut.
Art Manager: drh. H. Budianto M.Si, MM. dan Suko Prayitno
Sutradara: Agus Dwi Cahyono
Asisten Sutradara: Anton – Riska dkk
Koordinator Team Kreatif/Property: Nurcholil
Edukasi Prog, Koreografi &Tata Rias: Tim Patihsenawangi
Penata Musik: Adlin Mustika dan Mulyadi
Penulis Naskah: H. Abdullah Fauzi
Dewan Pengarah: Cabang Dinas Pendidikan Jawa Timur di Banyuwangi.
Dinas Pendidikan & Camat se Kabupaten Banyuwangi
Produksi: Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Skenario Naskah Panji Sunangkoro yang sudah ditulis H.Abdullah Fauzi, diterjemahkan oleh Sang Sutradara. Agus Dwi Cahyono, mengimplementasikannya dalam gerakan tari sebagaimana pengalamannnya. Setelah menerima tongkat estafet dari Sumitro Hadi pada tahun 2016, pengalamannya menggarap event Gandrung Sewu sebanyak 3 (tiga) kali menjadi modal utamanya. Perubahan cepat tema tidak terlalu menyulitkannya dalam hal sajian tari.
Namun Agus rupanya telah mengalami kejenuhan, GS yang digarapnya masih terus berkutat pada konsep yang sama. Agus menjadi terobsesi melakukan terobosan besar dalam hasil karyanya. Gandrung Sewu yang kolosal dari segi jumlah peserta, diobsesikannya juga kolosal pada ruang lingkup hasil karyanya. Pertemuannya dengan Ridwan, sang Empu Gamelan dari “Rumah Produk Gamelan” yang meng-eksperimen komposisi larasan baru dianggapnya bisa memaksimalkan karyanya.
Konon ketika melihat penampilan group tabuhan di Bali yang memadukan Laras Pelog dan Selendro dalam satu instrumen, “Sang Empu Ridwan” terinspirasi untuk bisa memadukan antara Laras Selendro Pentatonik dengan laras diatonik barat. Maka lahirlah gamelan “Pitutur” yang memiliki susunan : 3-5-6-7-1- 2-3-4-5-6-1-2
Perpaduan antara musik Barat (diatonik) dan musik timur (pentatonik) sebenarnya sudah ada sejak lama. Musisi India Ravi Shankar telah menginspirasi George Harison memasukkan Sitar dari India sebagai komponen dalam lagu Norwergian Wood. Di negara kita ada Guruh Gipsy mengembara bersama anak-anak Gang Pegangsaan mengawinkan Musik Bali (Pelog) dengan musik Diatonis pada album yang bertuliskan “Kesepakatan dalam Kepekatan” pada tahun 1976.
Di Banyuwangi beberapa musisi telah memulai melakukan perpaduan itu. Innisisri yang mengembangkan konsep KAHANAN bersama ADNAN CS di Banyuwangi pada 30 Agustus 2008, telah berhasil memadukan kesenian hadrah berpadu dengan musik modern telah mengantarkannya menuju pengakuan internasional. Namun Innisisiri bermain-main di wilayah pentatonik yang cukup aman. Hadrah Rebana yang tidak memiliki solmisasi dikawinkannya, bukan sebagaimana yang dilakukan Guruh Gipsy yang pada akhirnya memerlukan Gong sebagai penghubung antara pelog dan diatonisnya.
Dalam perjalanan musik Banyuwangi, Vokal Biola, dan “Instrumen Non Notasi” seperti kendhang, terbang, kethuk, kenong, kluning/ kluncing/ triangle dan Kempul. lebih gampang menerima intervensi nada laras non Selendro. Instrumen Non Notasi lebih adaptif karena tidak terikat pada nada-nada. Sedangkan “Instrumen bernotasi” Selendro dan Pelog, umumnya memiliki larasan yang tidak persis sama, baik dalam pitch maupun dalam struktur intervalnya. Selain itu faktor kesulitan konversi sistem tuning dan skala nadanya kedalam notasi barat, merupakan salah satu penyebabnya.
Hal itu juga berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Krakatau ketika berelaborasi dengan Supinah dalam lagu Impen-impenan. Perpaduan apik, namun tetap bermain dalam ruang masing-masing. Bukan melebur menjadi satu, atau salah satu menjadi resesif. Kalau kita perhatikan vokal pelog dan gesekan biola diatonis yang berwisata di laras selendro terjadi sejak lama, seperti terjadi saat vokal pelog menginvasi gending “Kembang Pepe” dan “Krimping Sawi” yang diiringi instrumen selendro. Pada kedua lagu ini, vokal dan biola keduanya bernyanyi bersama pada nada Pelog dengan iringan tabuhan Selendro.
Perhatikan juga saat biola yang bermain pentatonik pelog dalam gending Jejer Gandrung. Ketika memasuk fase awal “Tinjakan” justru berubah masuk ke Selendro yang kemudian dilanjutkan dengan gending Podho Nonton.
Kendati impen-impenen sekedar perpaduan dalam ruang olah vokal, tetapi selain George Horison, perpaduan didalam instrumen juga dilakukan oleh Deep Forest. Kelompok yang pernah masuk dalam nominasi sebagai album musik terbaik di Grammy award 1994, lebih agresif berkeliling untuk berpadu dengan berbagai alat musik dari Afrika, Brazil, Hawai dan India. Deep Forest juga tetap bermain didalam ruang yang berbeda.
Kembali kepada apa yang dilakukan oleh Empu Ridwan. Konsep Ridwan berbeda dengan Deep Forest, Guruh gipsy, Innisisri/Adnan atau Supinah/Krakatau. tetapi Ridwan justru menawarkan perkawinan material 2 (dua) wilahan gamelan dalam satu keranjang.
Ridwan memadukan laras diatonik dan selendro dalam satu ancak, gamelan Banyuwangi di-tuning larasnya menjadi diatonik barat dan dijejerkan beririsan dengan wilah angklung selendro Banyuwangi. Menyeret tuning frekuensi diatonik kedalam wilahan gamelan Banyuwangi, sebenarnya sudah sejak Pebruari 2002 telah dilakukan. Yaitu pada saat POB (Patrol Orkestra Banyuwangi) merilis album Layangan. Respon masyarakat menerima apa yang tengah dilakukan Catur Arum dan Yon’s DD, terbukti peredaran kasetnya laris manis. Penikmat musik di Banyuwangi bergembira bermain “Layangan”. Peristiwa saat Yon’s DD memukuli wilah tabuhan besi di Aftara Record Jakarta, kelak membuat para musisi Banyuwangi berbondong-bondong merubah gamelannya menjadi bem C#.
Gamelan Pitutur Sang Empu Ridwan, akhirnya menjadi satu pilihan resourches yang mendukung penampilan Gandrung Sewu 2019. Agus Dwi Cahyono telah mengambil sikap, saya yakin beliau sudah mengkalkulasinya. Perubahan yang telah diukurnya akan mengantarnya kepada 2 (dua) pilihan: menjulangkannya atau membenamkannya kedalam catatan perjalan musik Banyuwangi. Penerjemahan naskah kontroversial dari H. Abdullah Fauzi kedalam gerak tari telah dilakukannya, Agus mengetahui bahwa dia memerlukan Tim Penata Musik yang handal dan mampu membaca keinginannya.
Dipilihnya 2 (dua) orang yang berbeda latar belakang adalah salah satu langkah kudanya. Adlin Mustika seniman muda yang berlatar belakang akademis, dipadukan dengan Mulyadi. Mulyadi adalah seniman tradisi otodidak yang merupakan panjak Pantus Angklung Caruk Bolot yang sangat mahir membuat gending-gending. Tugas berat yang pasti akan membuat kebingungan keduanya saat menerjemahkan tugas yang dibebankan Sang Sutradara, yaitu merangkai cerita fragmen dan gerak tari yang sudah ditetapkan dengan menggunakan mainan baru.
Karenanya tak heran bila masih terdengar tabrakan-tabrakan nada atau suara sumbang yang disebabkan perbedaan laras yang dimainkannya. Tentu saja keduanya memilih bermain aman, dengan mengurangi permainan timpal progresif didalamnya. Selain pertimbangan skill pemain, juga terkait penggunaan instrumen gamelan pitutur yang masih baru. Untuk melakukan antraksi timpal dengan gamelan yang baru, diperlukan skill yang tinggi. Letak wilah yang telah berubah dan terpisah-pisah jauh dari pakem yang umum ada. Sementara disisi lain recruitment pemain yang disodorkan, dalam rangka memberi ruang kepada generasi berikutnya yang relatif baru belajar.
Jadi teringat apa yang dikatakan oleh Lindsay, Jennifer (1992). Dalam Javanese Gamelan :
The representations of slendro and pelog tuning systems in Western notation shown above should not be regarded in any sense as absolute. Not only it is difficult to convey non-Western scales with Western notation, but also because, in general, no two gamelan sets will have exactly the same tuning, either in pitch or in interval structure. There are no Javanese standard forms of these two tuning systems.
Lumajang, 19 Oktober 2019
Elvin Hendratha
Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.
Sumber : foto oleh Budiosing Setianto
Editor: Hani Z. Noor