Basa Using: Bengen lan Mbisuke (1)

Antariksawan Jusuf (dipublikasikan pada Minggu, 15 Desember 2019 17:28 WIB)
- Opini



Pengantar Redaksi:
Sengker Kuwung Belambangan (SKB) tanggal 14 Des 2019  kemarin mengadakan Gesah Basa Using: Bengen lan Mbisuke yang diselenggarakan di Cafe Hore Banyuwangi. Dimoderatori oleh Pak Hasan Basri, pegiat budaya dan wakil ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB) dan dihadiri oleh banyak pegiat budaya antara lain pelukis S. Yadi K, , Aguk Wahyu Nurhadi, Abdul Aziz, Arif Wibowo,Begawan Tjiptoroso, Abi Chairil Anwar, Andi Sep Kurniawan, Budi Hezret, Bu Amy, Elvin Hendrata, Ilham Triadi, Kang Ju, Moh. Syaiful, Pak Seng, Saham Sugiono, Satria Pujangga, Samsul Kemiren, Titin Fatimah, Wiwin Indiarti,  Yeti Chotimah dan lain-lain.

Bagian pertama tulisan ini akan menyajikan makalah yang disampaikan dan pada bagian kedua mengenai berbagai komentar dari peserta.

Bahasa Using: Bengen lan Mbisuke (1)
Ketika panitia penganugerahan hadiah kesusastraan daerah Rancage hendak memutuskan karya sastra kategori Jawa tahun 2016, mereka kebingungan menentukan sebuah karya di tangan mereka, sebuah novel dwi bahasa berjudul Agul-Agul Belambangan. Mereka meminta waktu tambahan tiga bulan untuk menentukan apakah novel yang diterbitkan oleh Sengker Kuwung Belambangan (SKB) itu masuk kategori sendiri sebagai bahasa Using atau dimasukkan ke kategori bahasa Jawa (dialek Using). Mereka akhirnya merujuk pada sebuah Peraturan Gubernur Jawa Timur bernomor 19 tahun 2014 yang menyatakan bahwa bahasa daerah yang diajarkan di Jawa Timur adalah bahasa Jawa dan Madura. Mereka pun berkesimpulan, bahasa Using merupakan dialek Jawa.

Rupanya panitia Rancage entah menyadari atau tidak, sengaja atau tidak mengabaikan peraturan di atasnya yaitu Peraturan Daerah No. 9 tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Pasal 17 ayat (2) berbunyi: Bahasa daerah yang diajarkan sebagai muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ialah Bahasa Jawa atau Bahasa Madura atau bahasa lainnya yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kabupaten/kota setempat.

Peraturan Gubernur tersebut dari awal keluarnya sudah menimbulkan masalah. Dewan Kesenian Blambangan (DKB) misalnya bereaksi dengan memboikot seluruh kegiatan kesenian di Jawa Timur dengan tidak mengirimkan wakilnya satupun. 
   Di lain pihak, dengan hanya menelurkan dua sampai tiga karya fiksi per tahun, bahasa Using tidak layak dilombakan dalam kategori tersendiri. Tidak seperti bahasa Jawa yang sudah membuahkan lebih dari selusin karya setiap tahunnya.

Sejak Kapan Istilah Using?   

Bupati Kudus yang terkenal sebagai penulis bernama Candranegara, tahun 1860-an mengunjungi Banyuwangi dan mencatat sesuatu yang penting yang berhubungan dengan keberadaan bahasa Using sekarang. Ia menilai ada sesuatu yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Seperti dikutip Prof. Ben Arps dari Universitas Leiden dari Boneff (1986),  Candranegara mengatakan orang Banyuwangi “ngangge tembung Jawi nanging cara dhusun” (menggunakan bahasa Jawa tetapi dengan bahasa desa). Kata kunci “cara dhusun” atau bahasa desa.
   Dari sudut pandang Jawa yang mempunyai 13 tingkat tutur  (Ngoko Lugu, Ngoko Antyabasa, Ngoko Basaantya, Madya Ngoko, Madyantara, Madya Krama, Mudha Krama, Kramantara, Wredha Krama, Krama Inggil, Basa Kedhaton, Krama Desa, Basa Kasar) tentu saja bahasa Using ia kelompokkan dalam Krama Desa. Bahasa Krama Desa ini adalah bahasa yang dipakai oleh orang yang kurang dapat berbahasa Jawa dengan benar. Atau bahasa yang kurang baku, misalnya menggunakan analogi yang salah dalam memperhalus.

Leksikon yang muncul bisa bervariasi dari Krama Baku ataupun Ngoko.

Krama Baku        Krama Desa        

Ajrih                     Wedos ‘takut’
Nama                  Nami ‘nama’
Wangsul             Bangsul ‘kembali’
Benjing enjing     Benjang enjang ‘esok pagi’
Satunggal            setunggil ‘satu’
Nate                     natos ‘pernah’
Sepuh                  sepah ‘tua’
Tedha                   tedhi ‘meminta’
Namung        naming ‘tetapi’
Mangke        mengke ‘nanti’

Ngoko             Krama Desa

Tangga        tanggi ‘tetangga’
Cina            cinten ‘Cina’
Sepisan        sepindhah ‘sekali’
Riyaya            riyadin ‘hari raya’
Mengko        mengke ‘nanti’
Kedhele        kedhangsul ‘kedelai’
Kesupen        supe ‘lupa’
Percaya        percados ‘percaya’
Semono        semonten ‘seukuran itu’
Watara        watawis ‘antara’


Leksikon Krama Desa yang bukan dari leksikon Krama atau Ngoko:

Angsal ‘boleh’
Tanglet ‘tanya’
Semerep ‘tahu/melihat’
Ngeten ‘begini’
Milai ‘mulai’
Yatra ‘uang’
Kirangan ‘entah’
Lereb ‘istirahat’
Yoga ‘anak’

Leksikon yang disebut sebagai Krama Desa ini sampai sekarang masih digunakan dalam bahasa Using (yang saat itu belum disebut bahasa Using) atau variannya yang disebut besiki (versi krama Bahasa Using). 

Bahasa Using dan Bahasa Jawa moderen yang keduanya berasal dari Bahasa Jawa kuno diperkirakan berpisah sekitar tahun 1163 atau 1174 M dan justru Bahasa Usinglah yang masih banyak mempertahankan kosakata Jawa kuno, demikian Suparman Herusantosa dalam disertasinya yang berjudul Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi.

Memang kalau dirunut ke belakang, istilah Using boleh dibilang masih belum lama. Sekitar awal tahun 1920an bermunculan istilah Using (de Oesinger) yang merujuk pada orang Blambangan.
   

C. Lekkerkerker dalam majalah Indische Gids II (1923:1031) mengatakan orang Using (de Oesingers) mempunyai kepribadian, bahasa dan adat yang berbeda dengan orang Jawa lainnya.
 

Juga orang Belanda lain, Joh. Scholte (1926), memberikan ceramahnya tentang “Gandrung Banyuwangi” (Gandroeng van Banjoewangi), mengatakan “Para gandrung adalah putri-putri orang Using, suatu suku bangsa yang harus dianggap sebagai sisa-sisa orang Blambangan yang beragama Hindu Jawa dan yang hingga kini bertahan di antara para transmigran di Banyuwangi untuk memelihara semurni mungkin adat istiadat mereka...Nama Using diberikan kepada orang Blambangan oleh para pendatang berdasarkan kata penyangkal “Using” atau “Sing” yang berarti “Tidak” atau “Bukan”.

Scholte yang juga direktur Sekolah Normal di Blitar mengatakan: “Orang Blambangan sendiri menamakan dirinya orang Jawa Asli. Nama yang paling tepat untuk mereka adalah orang Blambangan.” 

Scholte yang meneliti gandrung juga mencatat puluhan lirik gending gandrung pada saat pemaparannya di kongres Java Instituut di Surabaya.

Lima tahun sebelum Scholte, T. Ottolander, orang Jawa yang mukim di Licin, juga pernah menampilkan gandrung di kongres Java Instituut di Bandung. Ia merupakan orang pertama yang mencatat tertulis sastra Banyuwangi berupa gending-gending gandrung. Ottolander mengatakan terjemahan ke bahasa Belanda sangat sulit karena banyak kata-kata dialek Banyuwangi yang tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.

Sementara Thomas Pigeaud, ahli sastra yang menulis kamus Jawa-Belanda, mengumpulkan kosakata Using banyak sekali dan pada tahun 1929 sudah siap untuk diterbitkan (Suparman, 1987:72). Pigeaud, yang juga pernah tinggal di Bali utara, menyatakan bahwa banyak sekali kosa kata Banyuwangi yang dimasukkan ke dalam buku “Kawi-Balineesh” yang disusunnya. Dalam ulasannya tentang bahasa dan wilayah Using, Pigeaud mengatakan bahwa daerah Using semula lebih luas daripada yang ada sekarang. Desa Biting dan Kemiri (Jember), Patoan (Situbondo), Blendungan (Bondowoso) semula termasuk daerah Using. Bahkan dari segi bahasanya semula termasuk Using.

Tahun 1927 W.J. de Stoppelaar yang menulis Blambangansch Adatsrecht mengatakan orang Jawa Using berbahasa Using yang penggunaannya dari bahasa Jawa kuno, kata-kata bahasa Kawi serta menyusupkan bahasa Bali dan Melayu.

Seorang pegawai bahasa pemerintah kolonial Belanda, Thomas Pigeaud, seperti dikutip Suparman, mengatakan dialek Blambangan itu beda ucapan dan kosakata dibanding dengan bahasa Jawa. Selain dialek Blambangan, ia juga menyebut bahasa Using.

Meski demikian, ada juga orang Banyuwangi yang tidak mau dengan sebutan Using. Misalnya, pengarang lagu yang menulis Cara Penulisan dan Pengucapan Kata-kata Belambangan, 2001) Pak BE Endro Wilis. “Kerajaan di sini dulu disebut Kerajaan Blambangan. Sedang kota Banyuwangi didirikan Belanda pada tahun 1776. Kata-kata ‘wong Using’, ‘basa Using’ dan seterusnya dapat merobek perasaan orang daerah Blambangan, merupakan suatu penghinaan.

Senada dengan itu, dosen Universitas Leiden yang pernah mengadakan penelitian di Kemiren, DR. Ben Arps berkesimpulan kalau bahasa Using merupakan suatu hasil dari pergerakan politik. “Dialek Jawa yang terkesan kedesa-desaan (dialek rural)...mejadi sebuah bahasa daerah yang otonom yang patutu dibanggakan dan diajarkan di sekolah. Perubahan ini adalah hasil sebuah proses politik yang mengambil waktu beberapa dasawarsa.

Beberapa Peraturan yang Berhubungan dengan Bahasa Using:
1.    Surat Kakanwil Depdibud No. 1751/104/D/1996 tgl 30 Jan 1996 dan No. 4116/104/D/1996 Rekomendasi Penyusunan Buku-buku Materi Bahasa Using.
2.    Keputusan Bupati No. 428 tahun 1996 (5 Agustus 1996) Tentang Pembentukan Tim Penyusuan Buku-Buku Materi Bahasa Using sebagai Kurikulum Muatan Lokal Pada Pendidikan Dasar di Kabupaten Banyuwangi.
3.    Keputusan Bupati No. 25 Tahun 2003 (12 Maret 2003) tentang Pemberlakuan Lokal Wajib Bahasa Using Pada Jenjang Pendidikan Dasar di Kabupaten Banyuwangi. Muatan Lokal Wajib Bahasa Using berlaku di SD/MI di 13 kecamatan (Banyuwangi, Giri, Glagah, Kalipuro, Kabat, Rogojampi, Srono, Cluring, Purwoharjo, Gambiran, Sempu, Songgon, Singojuruh). Mulai 2003-2004, Muatan Wajib Lokal ini berlaku juga untuk jenjang SLTP/Tsanawiyah. 
4.    Keputusan Bupati No. 69 tahun 2003 (22 Juli 2003) tentang Pemberlakuan Lokal Wajib Bahasa Using Pada Jenjang Pendidikan Dasar di Kabupaten Banyuwangi (menganulir Keputusan sebelumnya).
5.    Muatan Lokal Wajib Bahasa Using berlaku di SD/MI dan SLTP/MTs negeri dan swasta di 21 kecamatan (Banyuwangi, Giri, Glagah, Kalipuro, Kabat, Rogojampi, Srono, Cluring, Purwoharjo, Gambiran, Sempu, Songgon, Singojuruh, Wongsorejo, Bangorejo, Pesanggaran, Tegaldlimo, Genteng, Kalibaru, Glenmore, Muncar).
6.    Peraturan Daerah No. 5 tahun 2007 tgl 14 Agustus 2007 tentang Pembelajaran Bahasa Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar.


Pasal 2
•    Pembelajaran Bahasa Daerah berfungsi mengenai, membina serta mengembangkan kemampuan berbahasa daerah pada peserta didik
•    Pembelajaran bahasa Daerah bertujuan untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mengarah pada penggunaan serta pelestarian  bahasa daerah
•    Bahasa daerah yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) adalah bahasa Using.
7.    UU  24 tahun 2009 pasal 42 
Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Pengembangan, pembinaan dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.

8.    Peraturan Gubernur Jawa Timur  No. 19 tahun 2014 (3 April 2014) tentang Mata Pelajaran Bahasa Daerah Sebagai Muatan Lokal Wajib di SD/MI
(Pasal 2) Bahasa Daerah diajarkan secara terpisah sebagai mata pelajaran muatan lokal wajib di seluruh sekolah/madrasah di Jawa Timur, yang meliputi Bahasa Jawa dan bahasa Madura dengan Kurikulum sebagaimana tersebut dalam Lampiran 

9.    Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No 9 tahun 2014 (22 Agustus 2014) tentang Penyelenggaraan Pendidikan

Pasal 17 
•    (1) Bahasa Daerah wajib diajarkan sebagai muatan lokal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
(2) Bahasa daerah yang diajarkan sebagai muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ialah Bahasa Jawa atau Bahasa Madura atau bahasa lainnya yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kabupaten/kota setempat.

Beberapa kosakata dan ungkapan yang dipakai dalam hasil karangan tersebut, merupakan pinjaman dari bahasa Jawa atau kadang Bahasa Indonesia, yang sebenarnya ada kata padanannya dalam Bahasa Using. Hal ini yang mengerucut menjadi keprihatinan yang dilontarkan Hasan Ali, yaitu Bahasa Using mengalami kepunahan atau berkembang menjadi bahasa yang lain dari yang ada sekarang.
   

Dasar kekhawatiran adalah ancaman kematian bahasa itu sendiri. “When a language dies, it is not because a community has forgotten how to speak, but because another language has gradually ousted the old one as the dominant language for political and social reasons. Typically, a younger generation will learn an ‘old’ language from their parents as a mother tongue, but will be exposed from a young age to another more fashionable and socially useful language at school.” (Aitchison, 2001:235). 

(Kematian sebuah bahasa bukan karena komunitas tersebut lupa cara bertutur, tetapi karena bahasa lain secara perlahan menggantikannya sebagai bahasa yang lebih dominan secara politis maupun sosial. Biasanya, generasi mudanya belajar ‘bahasa kuna’ dari orang tua mereka sebagai bahasa ibu, lantas berhadapan dengan bahasa lain yang lebih kekinian dan secara sosial lebih bermanfaat di sekolah.)

Hal-hal yang melemahkan bahasa:
1. Jumlah Penutur
2. Bahasa ibu digunakan atau tidak oleh anak-anak
3. Identitas etnik
4. Urbanisasi
5. Kebijakan pemerintah
6. Penggunaan Bahasa dalam pendidikan
7. Intrusi dan eksploitasi ekonomi
8. Keberaksaraan dan kebersastraan
9. Membaca dan menulis sastra
10.Tekanan Bahasa dominan

Yang seharusnya dilakukan adalah merevitalisasi Bahasa Using lewat Media Buatan, dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan Bahasa Using, seperti pemerintah, DPRD, LSM yang berminat pada Bahasa, sehingga dapat mengurangi pengaruh bahasa lain. Antara lain dengan:

1.    Harus ada Perencanaan Bahasa
2.    Menguatkan peraturan
3.    Menegakkan Bahasa (jangan hanya untuk celathu)
4.    Memperkaya buku pelajaran dan pengayaan
5.    Anggaran untuk pengembangan (termasuk pelatihan untuk guru) 
6.    Menambah wadah media 
 

Redaktur menerima berbagai tulisan, kirimkan tulisan anda dengan mendaftar sebagai kontributor di sini. Mari ikut membangun basa Using dan Belambangan.


Sumber : Aitchison, Jean, 2001, Language change: progress or decay?, Cambridge University Press, Cambridge Arifin, Winarsih P. 1995, Babad Blambangan, Bentang, Yogyakarta Arps, Bernard, 2010, ‘Terwujudnya Bahasa Using di Banyuwangi dan Peranan Media Elektronik di dalamnya (Selayang Pandang 1970-2009) dalam Geliat Bahasa Selaras Zaman: Perubahan Bahasa-Bahasa di Indonesia pasca Orde Baru, ILCAA Tokyo University for Foreign Studies, Tokyo Budiwiyanto, Adi, Kontribusi Kosakata Bahasa Daerah Dalam Bahasa Indonesia, artikel Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa, (diunduh tanggal 15 Juli 2016) http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel/1285 Danesi, Marcel, 2010, Pengantar Memahami Semiotika Media, Jalasutra, Yogyakarta Jones, Mari C. and Ishtla Singh, 2005, Exploring Language Change, Routledge, New York Jusuf, Antariksawan ed., 2014, Membicarakan Seni dan Sastra Banyuwangi, Pustaka Larasan, Denpasar Jusuf, Antariksawan dan Hani Z. Noor, Isun Dhemen Basa Using 2, SKB, Banyuwangi Jusuf, Antariksawan, Dari Using dan Banyuwangi kembali ke Blambangan, artikel di Jawa Pos Radar Banyuwangi, 20 Juni 2014 --------------------------, The Imminent Death of Banyuwangi’s Using Language, artikel di The Jakarta Post, 1 Nov 2014 Hariyono, Aekanu, 2013, Kemiren (Kisah Barong Jakripah dan Paman Iris), Kiling Osing Banyuwangi, Banyuwangi Herusantosa, Suparman, 1987, Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi, UI, disertasi tidak diterbitkan Margana, Sri, 2012, Perebutan Hegemoni Blambangan, Pustaka Ifada, Yogyakarta Maskur dkk, 2005, Lancar Basa Using untuk SD/MI kelas 4, 5, 6, Pemkab Banyuwangi ---------------, 2007, Lancar Basa Using untuk SMP/MTs kelas 7,8,9 Pemkab Banyuwangi Moleong, Lexi J, 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung Sutarto, Ayu dkk, 2012, Mutiara yang Tersisa III, Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Using, Kompyaswisda Jatim, Jember Wilis, Endro, Istilah ‘Using’ adalah Racun yang Melumpuhkan Jiwa dalam Lembar Kebudayaan, PSBB, Banyuwangi edisi 10 Maret 2010

Editor: Hasan Sentot